Soal Anggaran Lem Aibon DKI Jakarta, FITRA: Niat Korupsi?

Soal Anggaran Lem Aibon DKI Jakarta, FITRA: Niat Korupsi?
Ilustrasi (ist)

BRITO ID, BERITA JAKARTA - Polemik anggaran janggal di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadi sorotan publik. Bagaimana tidak, Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat menganggarkan pengadaan lem Aibon mencapai Rp 82,8 miliar dalam rancangan Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) untuk APBD 2020.

Temuan itu pertama kali disampaikan anggota DPRD DKI Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) William Aditya Sarana melalui akun Twitternya @willsarana pada Selasa, 29 Oktober 2019. Bukan itu saja, Wlilliam juga menemukan anggaran aneh lainnya di KUA-PPAS DKI Jakarta tahun 2020.

Baca Juga: Polemik Aibon di DKI Jakarta Rp82 Miliar, Untuk Siapa dan Salah Siapa?

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan menilai, ada indikasi penyelewengan anggaran mulai dari perencanaan yang dilakukan jajaran Pemprov DKI Jakarta. Apalagi kasus serupa kerap terjadi.

"Kalau korupsi itu tentunya sudah direncanakan dari awal. Jadi bukan sekedar kesalahan teknis, salah entri, dan administrasi. Karena kasus ini sering berulang ya, jadi sepertinya Pemprov DKI, Kepala UPT dan seterusnya selalu bermain-main dengan uang rakyat," kata Misbah, Jakarta, Kamis (31/10/2019).

Dia keberatan dengan alasan Pemprov DKI yang menyebut dokumen anggaran tersebut hanya bersifat sementara, sehingga petugas sembarang mengklik item --seperti kasus lem Aibon-- dengan nominal yang tidak masuk akal. Pemprov DKI berdalih, usulan anggaran itu akan diubah atau ditiadakan jika dalam rapat dengan DPRD tidak disetujui.

"Ya diubah karena ini ketahuan. Karena pekerjaan itu dipantau DPRD dan masyarakat sipil, warga DKI. Tapi kalau itu lolos dan masuk dokumen APBD dan dilaksanakan secara administrasi, maka tidak melanggar, meski itu mencederai keadilan masyarakat. Ya memang motif perencanaan korupsi seperti itu, biasanya disisip-sisipkan di dalam komponen kegiatan yang agak susah dilacak masyarakat," ucap Misbah.

Misbah mengapresiasi langkah Gubernur DKI Anies Baswedan yang telah memanggil jajarannya saat melihat banyak anggaran yang janggal. Hanya saja dia menyayangkan sikap Anies yang tidak mempublikasikan kegiatan tersebut dan keburu dibongkar oleh Fraksi PSI.

"Itu karena proses perencanaan penganggaran di DKI ini tertutup, tidak transparan. Kalau dari awal prosesnya itu lebih transparan, publik justru akan membela Pak Anies, tidak ada kecurigaan bahwa Pak Anies juga ikut bermain di proses ini," katanya.

Karena itu, dia meminta agar Pemprov DKI transparan dalam proses penganggaran sejak tahap perencanaan. Sehingga, publik bisa membantu kinerja Gubernur dalam mengoreksi, mengkritisi, dan memberi masukan agar bisa menghasilkan APBD yang lebih berkualitas.

Selain itu, Misbah juga meminta Pemprov DKI memaksimalkan instrumen yang dimiliki, seperti e-budgeting hingga tim pencegahan korupsi yang ada di bawah Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta.

"Nah itu yang mestinya diperankan secara maksimal. Jangan hanya (TGUPP) dapat gaji besar dari APBD, tapi kinerjanya tidak maksimal," katanya menegaskan.

Hal serupa juga disampaikan Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi. Menurutnya, anggaran janggal ini sengaja dibuat oleh pegawai Pemprov DKI Jakarta untuk meraup keuntungan pribadi.

"Kalau dia salah ketik itu kan hanya satu dua, ini kan secara keseluruhan banyak, mulai dari lem, komputer, semua anggaran itu tidak rasional. Jadi ini udah perencanaan, korupsi itu dimulai dari perencanaan gitu," kata Uchok kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis (31/10/2019).

Baca Juga: Gunakan Heli, Pangdam II Sriwijaya Berputar di Langit Tanjabbar

Uchok juga mengkritisi sikap Anies yang cenderung menyalahkan sistem e-budgeting terkait banyaknya kejanggalan pada rancangan KUA-PPAS DKI 2020. Sebab, sistem itu hanya untuk mencegah terjadinya korupsi.

Dia juga membandingkan gaya Anies dengan Gubernur DKI Jakarta sebelumnya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Di zaman Ahok, anggaran dipresentasikan dulu dan dikupas tuntas sebelum dipublikasi.

"Zaman Anies enggak ada kaya gitu, masuk aja. PNS itu merasa merdeka, mereka bikin langsung masukin aja. Seharusnya Anies kalau tidak paham anggaran harusnya dikasih perintah kepada 72 TGUPP itu untuk menyisir anggran-anggaran yang dibuat oleh kepala dinas ini," ucap Uchok. (RED)