Lebaran di Luar Angkasa

Seperti Muslim di Bumi. Pangeran Sultan juga menunggu hari Lebaran. Saudi sudah takbiran, dia masih belum mau berbuka puasa.

Lebaran di Luar Angkasa

Pemandangan itu tak biasa. Di ruang sempit, pria itu sholat dengan kaki terikat tali. Tubuh setengah melayang. Limbung, tak seimbang. Awak jangkung itu tak tegak berdiri. Agak condong ke depan. Semua gerakan lamban. Rukuk susah. Sujud tak bisa sama sekali. Jangankan dahi, telapak tangan pun tak bisa menyentuh lantai.

Duduk juga tak sempurna. Hanya mampu menekuk lutut alakadarnya. Bukan di masjid. Tidak pula di surau. Pria itu tengah sholat di dalam pesawat ulang alik Discovery. Wahana ruang angkasa milik Amerika Serikat. Dan, pria yang tengah sholat itu adalah Sultan bin Salman. Pangeran Arab Saudi. Pada 17 Juni 1985 itu, Sultan bin Salman mencetak sejarah. Tidak hanya untuk negaranya, tapi untuk dunia Islam.

Saat masih berusia 28 tahun itu, dia menjadi astronot Muslim pertama yang menjelajah luar angkasa. Tiga dasawarsa silam itu, Pangeran Sultan benar-benar menjadi ‘selebriti’. Jutaan manusia di jazirah Arab dan negeri-negeri Muslim memaku mata mereka ke layar televisi.

Menyaksaikan keberangkatan sang pangeran ke luar angkasa. Bukan melancong. Tidak pula untuk senang-senang. Sultan bin Salman membawa misi. Dia mengantar Arabsat, satelit komunikasi seharga US$40 juta milik 21 negara Arab, ke orbit.

Tak hanya mendokumentasikan peluncuran Arabsat, Pangeran Sultan juga melakukan sejumlah percobaan ilmiah. Di ruang tanpa gravitasi itu, dia menguji sifat air dan minyak yang tak bisa menyatu di Bumi. Pangeran Salman juga diberi tugas memotret wilayah Saudi dari angkasa.

Foto itu jadi bahan perbandingan hasil penginderaan jarak jauh oleh satelit. Hasilnya dipakai untuk eksplorasi minyak, air, dan struktur bukit pasir. “ Ini pekerjaan yang sangat, sangat bagus,” kata Sultan bin Salman setelah mendarat ke Bumi kala itu, sebagaimana dikutip The New York Times.

Tahun itu, Pangeran Sultan bak pahlawan. Saat pulang ke Saudi setelah misi itu, dia disambut parade lautan manusia. Wajahnya tergambar di kaos-kaos semua orang yang berpawai menyambutnya.

Sultan memang keturunan ningrat. Dia keponakan Raja Fahd bin Abdul Aziz Al Saud, yang berkuasa di Saudi kala itu. Tapi darah biru tak otomatis membuat dia ditunjuk langsung untuk misi STS 51G ini. Raja Fahd pun semula tak mau memberi izin. Namun Pangeran Sultan tidak menyerah.

Pada sang paman dia berkata, “ Saya punya hak untuk maju dan memakai keahlian untuk berkarya.” Raja Fahd pun luluh. Pangeran Sultan harus ikut seleksi ketat. Pilot pesawat tempur terbaik Saudi ini lolos di antara 20 rekan sejawat. Tahap berikutnya, hanya dia yang terpilih.

Saat mengikuti tes itu, pria yang lahir pada 27 Juni 1956 ini memang sudah mengantongi lebih dari seribu jam terbang. Tak mudah. Itulah jalan Pangeran Sultan menjadi awak pesawat Discovery. Sepuluh pekan harus dia habiskan di Pusat Antariksa Lyndon B. Johnson NASA di Houston. Di sanalah dia menjalani pelatihan keras.

Digembleng siang dan malam. Latihan makin berat karena memasuki bulan Ramadan. Pangeran Sultan tak mau batal puasa. Dengan menahan lapar dan haus, dia hadapi semua latihan itu. “ Houston memiliki cuaca panas yang lembap dan waktu siang yang panjang, yang membuat puasa keras, tetapi saya memutuskan untuk berpuasa,” ujar dia.

Sebenarnya, grand mufti Saudi memberinya saran untuk tidak berpuasa selama ikut latihan. Memang untuk kondisi tertentu diperkenankan menunda puasa. Namun dia memilih puasa. “ Saya pribadi bersikeras berpuasa saat latihan.” Para pelatih pun menawarkan perubahan jadwal latihan, menyesuaikan puasa sang pangeran. Tapi lagi-lagi dia menolak. “ Meskipun cuaca buruk, kami bertekad untuk mengikuti aturan dan jadwal pelatihan yang ketat,” ujar Pangeran Salman. Waktu latihan harus dijalankan 16 hingga 17 jam sehari.

Saban hari Pangeran Salman baru sampai di rumah saat hari sudah larut. Dalam kondisi belum berbuka puasa. “ Kami biasanya tiba di rumah sekitar pukul sembilan malam setelah hari yang melelahkan,” tutur dia. Bukan langsung tidur. Dia masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah yang dibawa dari tempat latihan. Harus mengerjakan setumpuk laporan hasil latihan. “ Kami biasa berbuka puasa pukul sepuluh malam. Itu makan pertama kami sepanjang hari, sambil memeriksa laporan,” tambah Pangeran Sultan. Tidur pun tak teratur.

Hampir saban malam dia tertidur di atas sofa. Tak sempat pindah ke kasur karena terlelap saat mengerjakan laporan. “ Dan kami jarang bangun untuk sahur.” Meski demikian, Pangeran Sultan tetap berkonsultasi dengan dokter NASA. Dia ingin memastikan puasa yang dijalani tak berpengaruh pada kondisi tubuhnya sebelum meluncur ke luar angkasa. Hasilnya, tubuhnya sehat. Dinyatakan fit untuk dikirim ke Pusat Antariksa Kennedy untuk menjalani tujuh hari karantina sebelum melakukan perjalanan ke luar angkasa. Perjalanan sebenarnya dimulai Subuh itu.

Tepat 29 Ramadan 1405 Hijriyah. Tujuh kru, termasuk Sultan bin Salman, berarak menuju ke pesawat ulang alik yang telah nangkring di tempat peluncuran. “ Peluncuran dilakukan pada hari terakhir Ramadan dan ini sangat istimewa,” kata Sultan. Sebelum meluncur, Pangeran Sultan sholat Subuh.

Tapi sayang dia lupa membawa perlengkapan ibadah. Saat itulah salah satu teknisi memberikan selembar baju dan memintanya menggelar pakaian itu di lantai sebagai sajadah. “ Peristiwa itu benar-benar menyentuhku,” ujar Sultan. Dia sadar betul, perbuatan baik akan mendapat balasan baik pula dari orang lain. Untuk mendalami ilmu pengetahuan tak memandang perbedaan agama dan latar belakang. Masuklah Pangeran Sultan dan enam awak lain ke pesawat ulang alik.

Latihan keras memang sudah dijalani. Semua mental telah dihimpun. Tapi, rasa khawatir tetap saja menggerayanginya. “ Ketakutan kami, pesawat tidak meluncur. Khususnya setelah semua prosedur dilakukan,” kata dia. Matahari sudah merekah. Sudah pukul tujuh. Pesawat ulang alik di Kennedy Space Center, Florida, itu sudah siap diluncurkan. “ Sebelum meluncur, mesin meraung semakin keras,” tutur Sultan.

Deru mesin roket pendorong semakin kencang. Asap mengepul di tempat peluncuran. Semakin tebal. Hitungan mundur dari sepuluh dimulai. Perlahan, wahana raksasa itu terangkat ke udara. Makin tinggi. Melesat, menembus angkasa.

Pangeran Sultan tak bisa melupakan peluncuran itu. Dia masih ingat betul saat kesulitan bernapas. Sekali menghirup udara, lalu menahannya untuk dikeluarkan perlahan. Tak hanya itu. Getaran pesawat pun mengguncang tubuh. Terasa sangat kuat. “ Semua itu pengalaman yang tidak terlupakan,” tambah dia. Namun semua berubah saat roket pendorong lepas. Suara bising reda. Getaran tidak lagi mengguncang badan. Yang terasa hanyalah kesunyian.

Mereka telah tiba di luar angkasa. “ Pertama kali yang saya lihat adalah kacang yang terlepas dan terbang di depan mata saya,” kata Sultan. Karena sudah tak ada getaran, mereka melepas sabuk pengaman. Kemudian, melayang. Pangeran Salman memang berada di luar angkasa. Tapi dia tak pernah melewatkan kewajiban sebagai Muslim. Dia tetap sholat.

Juga puasa karena masih dalam bulan Ramadan. Kondisi luar angkasa sudah pasti berbeda dengan di Bumi. Di luar angkasa itu, matahari terbit dan tenggelam hanya dalam 45 menit sekali. Karena itulah dia berkonsultasi dengan grand mufti Saudi. Dia meminta petunjuk cara wudu, sholat, hingga puasa dia konsultasikan. “ Saat saya menyampaikannya ke grand mufti, dia bercanda, ‘Kamu bisa berpuasa hanya dalam waktu dua hari saja’,” kata dia. Seperti Muslim di Bumi. Pangeran Sultan juga menunggu hari Lebaran. Dia memantau informasi di Bumi. Dari radio komunikasi dia tahu bahwa negerinya telah masuk Idul Fitri. Ramadan sudah berakhir. “ Teman astronot menawari saya kurma untuk berbuka puasa,” kata Pangeran Sultan.

Tapi dia tak segera buka. Sebab, matahari di Florida belum terbenam. Pangeran Sultan menggunakan waktu di titik peluncuran sebagai acuan. “ Para cendekiawan memberi tahu saya bahwa saya bisa berbuka puasa dengan mengacu pada waktu di tempat peluncuran, di mana saya memulai puasa. Kami meluncur dari Florida,” tutur Pangeran Sultan. Setelah matahari di Florita terbenam, pangeran Sultan berbuka. “ Saya makan kurma dan minum air. Saya lalu sholat Id.” Berbeda dengan keputusan Saudi.

Hari itu Pangeran Sultan tak bisa melihat hilal. Dia baru melihat bulan baru pada hari ke dua Idul Fitri. Temuan itu dia laporkan ke ilmuwan Saudi. Menurut laman Arab News, setelah melakukan penelitian yang hati-hati, otoritas Saudi akhirnya menyatakan ada satu hari Ramadan yang terlewat.

Sehingga di kemudian hari warga Saudi diimbau berpuasa satu hari sebagai penggantinya. Tak hanya puasa dan Idul Fitri. Saat berwudu pun Pangeran Salman menggunakan cara khusus.

Dia hanya menggunakan handuk basah yang diusap ke sejumlah bagian tubuh untuk bersuci. Dalam pesawat ulang alik yang melayang di ruang tanpa gravitasi itu memang persediaan airnya terbatas.

Jika melihat video dokumentasi sepekan perjalanan Pangeran Salma terlihat betul aktivitas kesehariannya. Mulai sholat dengan kaki terikat hingga membaca Alquran mini yang melayang.

Selama sepekan di luar angkasa itu, Pangeran Sultan mampu mengkhatamkan Kitab Suci ini. Tugas Pangeran Sultan boleh saja dipandang sebelah mata. Tak signifikan untuk misi itu. Tapi, pengalaman itu seperti “ listrik” yang menyengat para pemuda Arab dan dunia Muslim kala itu. “ Pada dasarnya ini hanya membangkitkan minat dan antusiasme di antara generasi kami, generasi tua dan anak muda,” tutur Pangeran Sultan bin Salman bin Abdulaziz Al Saud dikutip dari The New York Times. “ Saya fikir Anda akan melihat gelombang anak-anak Arab mengantre untuk menjadi astronot,” tambah putra e dua Raja Salman tersebut.