Arcandra Jelaskan Alasan "Gross Split" Diminati Investor

Arcandra Jelaskan Alasan "Gross Split" Diminati Investor

BRITO.ID, BERITA JAKARTA - Wakil Menteri (Wamen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menjelaskan alasan "gross split" atau skema bagi hasil diminati para investor.

"Pada era sekarang ini dunia penuh dengan disrupsi, sehingga dunia migas juga perlu melakukan 'disruption' salah satunya adalah dengan menyangkut sistem fiskal kita, dulu menggunakan 'cost recovery' sekarang menggunakan 'gross split', itu adalah 'disruption' ESDM sendiri," kata Arcandra di Jakarta, Senin (4/3).

Lebih lanjut dalam forum diskusi energi tersebut, ia menjelaskan bahwa "gross split" memiliki prinsip dasar "certainty" (parameter pemberian insentif jelas dan terukur), "simplicity" (tidak ada perdebatan mengenai biaya, dan pengadaan independen) dan "efficiency" (mendorong industri migas untuk efisien sehingga mampu menghadapi gejolak harga minyak).

Perubahan kebijakan ini merupakan langkah disruptif Pemerintah dalam pengembangan migas Indonesia.

"Semuanya ditentukan di awal, kalau sebuah lapangan memiliki CO2 yang besar maka akan mereka mendapatkan insentif, kalau lapangan tersebut di remote area maka akan diberikan insentif, kalau harga minyak rendah maka mereka akan dikasih insentif lebih, tapi kalau harga tinggi, maka negara akan (dapat) insentif lebih," ujar Arcandra.

Prinsip yang kedua "gross split" adalah "simplicity". Salah satu kendala untuk mempercepat bisnis proses migas dalam penentuan biaya pada Plan of Development (POD), "Berapa lama dulu diskusi biaya ini di SKK Migas, biaya tidak lagi domain SKK Migas, tapi SKK Migas sekarang pada domain 'work programme'. Prinsip simple ini akan mempersingkat bisnis proses yang lama sekali," katanya.

Pada prinsip terakhir "efficiency", Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan dipaksa untuk efisien, karena biaya ada di sisi KKKS. Ketidakefisien KKKS tidak berimbas lagi kepada APBN, selama ini APBN terekspose dengan KKKS efisien atau tidak, kalau tidak efisien maka membengkaklah "cost recovery" yang ditanggung negara, jika KKKS-nya efisien maka "cost recovery" bisa turun.

Sebagai bukti bahwa perubahan sistem fiskal Indonesia meningkatkan daya saing, kata dia, terlihat dalam laporan Petroleum Economics and Policy Solution (PEPS) Global E&P Attractiveness Ranking yang dikeluarkan oleh IHS Markit yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-25 dari 131 negara.

Berdasarkan laporan yang sama, Indonesia juga menduduki peringkat terbaik apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Bila dikomparasikan, dengan Malaysia misalnya. Pada 2017 Malaysia menduduki peringkat ke-23, sekarang ini melorot ke posisi 35.

Begitu juga dengan laporan yang dikeluarkan oleh lembaga Wood Mackenzie, yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki citra positif dalam pengembangan hulu migas. (RED)