Pengamat: Penanganan PETI Harus Komprehensif, Tak Cukup Hanya Bakar Rakit!

BRITO.ID, BERITA JAMBI, – Langkah tegas Polres Bungo di bawah komando Kapolres AKBP Natalena Eko Cahyono dalam menggencarkan operasi gabungan pemberantasan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) mendapat sorotan positif dari pengamat sosial ekonomi Jambi, Dr. Noviardi Ferzi. Kendati demikian, Noviardi mengingatkan bahwa keberhasilan jangka panjang tidak hanya ditentukan oleh razia dan pembakaran rakit, melainkan pada solusi komprehensif yang menyentuh akar masalah.
"Kita patut mengapresiasi keberanian dan ketegasan Kapolres Natalena yang tidak main-main dalam memberantas PETI. Dimulainya razia di Sungai Buluh dan rencana penyisiran ke berbagai titik rawan lain seperti Sungai Arang, Tanjung Menanti, hingga Batang Kemumun, menunjukkan keseriusan aparat. Apalagi dengan dibentuknya Satgas Gabungan dari berbagai unsur," ujar Dr. Noviardi Ferzi saat dimintai tanggapannya, Rabu (16/7/2025).
Namun, Noviardi menekankan bahwa pendekatan represif ini, meski vital untuk memberikan efek jera dan menghentikan kerusakan sesaat, hanyalah bagian dari solusi. "Fenomena PETI yang terus muncul meski sudah berulang kali dirazia itu sinyal kuat bahwa ada masalah mendasar yang belum tertangani," tegasnya.
Menurut Dr. Noviardi, untuk mengatasi PETI secara permanen di Bungo, setidaknya ada tiga pilar utama yang harus dikerjakan secara simultan:
Pertama, Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat: Kunci Mengurangi Ketergantungan pada PETI
"Banyak masyarakat yang terlibat PETI karena dorongan ekonomi, mencari nafkah demi keluarga. Jika mereka tidak punya pilihan lain yang layak, razia saja akan seperti memadamkan api yang cepat menyala lagi," jelas Noviardi.
Ia mendorong Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Bungo untuk aktif menciptakan lapangan kerja alternatif yang berkelanjutan. "Program pelatihan keterampilan, pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), atau dukungan pada sektor pertanian/perkebunan yang menjadi potensi daerah, harus digencarkan. Beri mereka alat pancing yang legal, bukan hanya larang mereka mengambil ikan di kolam terlarang," imbuhnya.
Kedua, Penindakan Adil dan Menyeluruh: Sasar Pemodal dan Ekskavator
Noviardi juga menyoroti pentingnya penindakan yang tidak "tebang pilih". "Pernyataan Kapolres bahwa 'Tidak ada lagi zona aman bagi pelaku PETI, termasuk yang ada di kampung pejabat sekalipun' adalah komitmen yang harus dipegang teguh. Ini artinya, operasi tidak boleh hanya menyasar rakit dompeng yang dioperasikan masyarakat kecil."
"Aparat harus berani menyasar dan memutus mata rantai pemodal besar yang menggunakan alat berat seperti ekskavator. Dampak kerusakan lingkungan dari ekskavator jauh lebih parah, dan di belakangnya pasti ada jaringan pemodal yang lebih kuat. Jika hanya rakit kecil yang diberantas, sementara ekskavator masih beroperasi, ini akan menciptakan ketidakadilan dan bisa melemahkan kepercayaan publik," tegasnya. Mengusut tuntas para pemodal, penyedia alat berat, hingga penadah hasil tambang ilegal adalah kunci untuk melumpuhkan PETI secara struktural.
Ketiga. Legalisasi Melalui WPR: Solusi Jangka Panjang nan Strategis
"Yang tidak kalah penting adalah mendorong lahirnya Kawasan Tambang Rakyat (WPR)," kata Dr. Noviardi. Ia mendesak Pemda dan DPRD Kabupaten Bungo untuk segera berkoordinasi dengan Kementerian ESDM mengusulkan pembentukan WPR.
"Dengan adanya WPR, aktivitas pertambangan rakyat bisa dilegalkan di wilayah tertentu yang sudah dikaji kelayakannya. Ini memungkinkan pengawasan, penerapan standar keselamatan, pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab, hingga potensi penerimaan daerah dari pajak dan retribusi," jelasnya.
Noviardi optimistis, jika ketiga pilar ini—pemberdayaan ekonomi, penegakan hukum yang adil dan menyeluruh, serta pembentukan WPR—dijalankan secara terpadu dan berkelanjutan, bukan hanya sekadar operasi sesaat, maka Kabupaten Bungo bisa benar-benar bebas dari jerat PETI. "Ini bukan hanya soal penegakan hukum, tapi juga soal kesejahteraan rakyat dan masa depan lingkungan hidup di Bungo," pungkasnya.
(Ari Widodo)