Mengenal Lebih Dekat KGPAA Mangku Alam II

Mengenal Lebih Dekat KGPAA Mangku Alam II
Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangku Alam II. (Dokpri)

BRITO.ID, BERITA YOGYAKARTA - Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangku Alam II adalah tokoh sentral dalam upaya pelestarian dan pemersatu budaya kerajaan-kerajaan di Nusantara. Ia dikenal sebagai Ketua Dewan Pendiri Masyarakat Adat Nusantara (Matra), sebuah organisasi yang mewadahi ratusan kerajaan, kesultanan, dan lembaga adat dari seluruh Indonesia

Sebagai pemimpin spiritual dan budaya dari Kepangeranan Merdiko Praja Mangkualaman di Yogyakarta, KGPAA Mangku Alam II memainkan peran penting dalam menyatukan para raja dan pemangku adat melalui forum-forum seperti Festival Adat Budaya Nusantara (FABN). Dalam acara FABN ke-II di Candi Borobudur, ia menegaskan pentingnya ketahanan budaya dan solidaritas antar kerajaan sebagai bentuk kontribusi terhadap keutuhan NKRI

Ia juga dikenal karena visinya yang inklusif—mendorong agar para raja dan sultan tidak hanya menjadi simbol budaya, tetapi juga penasehat strategis bangsa dalam menjaga nilai-nilai luhur, Pancasila, dan UUD 1945

KGPAA Mangku Alam II menghadapi sejumlah tantangan yang cukup kompleks dalam perannya sebagai pemersatu raja-raja Nusantara dan tokoh adat:

1. Konflik Peran antara Kepemimpinan Adat dan Organisasi  

   Setelah dinobatkan sebagai Mangku Alam II, beliau memilih mundur dari kepengurusan Masyarakat Adat Nusantara (Matra). Hal ini karena dalam struktur Matra, seorang raja aktif tidak diperkenankan memegang jabatan struktural organisasi, demi menjaga netralitas dan kehormatan adat

2. Menjaga Netralitas di Tengah Dinamika Politik dan Budaya  

   Dalam berbagai forum seperti Festival Adat Budaya Nusantara (FABN), beliau harus menavigasi sensitivitas antar kerajaan, menjaga agar Matra tetap menjadi wadah pemersatu tanpa terseret kepentingan politik praktis

3. Membangun Legitimasi dan Keterlibatan Lintas Generasi  

   Tantangan lain adalah bagaimana menjadikan nilai-nilai adat tetap relevan di mata generasi muda. Ia harus menyeimbangkan antara pelestarian tradisi dan inovasi agar kerajaan dan lembaga adat tidak hanya menjadi simbol, tetapi juga berperan aktif dalam pembangunan bangsa.

4. Koordinasi Lintas Wilayah dan Budaya  

   Dengan ratusan kerajaan dan lembaga adat yang tersebar di seluruh Indonesia, membangun sinergi dan komunikasi yang efektif menjadi tantangan tersendiri. Apalagi masing-masing memiliki struktur, sejarah, dan nilai yang unik.

Bagaimana strategi beliau dalam menjawab tantangan-tantangan ini—misalnya lewat diplomasi budaya atau pemberdayaan ekonomi berbasis adat.

Konflik peran dalam kepemimpinan adat yang dialami KGPAA Mangku Alam II mencerminkan dilema antara tanggung jawab spiritual sebagai raja dan peran administratif dalam organisasi modern seperti Matra. Setelah dinobatkan sebagai Mangku Alam II, beliau memilih mundur dari jabatan struktural di Matra karena adanya prinsip dasar dalam organisasi tersebut: seorang raja aktif tidak boleh memegang jabatan struktural dalam Matra

Alasannya bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai adat. Dalam tradisi kepemimpinan Nusantara, seorang raja dianggap sebagai simbol pemersatu dan penjaga moralitas budaya. Jika ia juga memegang jabatan organisasi, dikhawatirkan akan terjadi konflik kepentingan—misalnya dalam pengambilan keputusan yang bisa dianggap berpihak atau tidak netral.

Langkah pengunduran diri ini justru memperkuat posisi beliau sebagai pemimpin adat yang menjunjung tinggi etika dan tata krama kepemimpinan tradisional. Ia tetap menjadi tokoh sentral dalam gerakan pemersatu raja-raja Nusantara, namun dari posisi yang lebih simbolik dan strategis.

Bagaimana prinsip ini sejalan dengan filosofi kepemimpinan Jawa seperti "manunggaling kawula lan gusti" atau bagaimana model ini bisa menginspirasi kepemimpinan etis di era modern.

Monggo Kita masuk ke inti filosofi Jawa yang sangat dalam: Manunggaling Kawula lan Gusti, yang secara harfiah berarti “bersatunya hamba dan Tuhan.” Tapi dalam konteks kepemimpinan adat seperti yang dijalani KGPAA Mangku Alam II, maknanya jauh lebih luas—yakni menyatunya pemimpin dengan rakyat, bukan hanya secara struktural, tapi secara batiniah dan spiritual

Relevansi dalam Kepemimpinan Adat

Dalam tradisi Jawa, seorang raja bukan sekadar penguasa administratif. Ia adalah panutan moral, penjaga harmoni, dan penyambung antara dunia lahir dan batin. Ketika seorang raja seperti Mangku Alam II memilih mundur dari jabatan struktural Matra, itu bukan bentuk pelepasan kekuasaan, melainkan peneguhan peran spiritualnya—agar ia tetap menjadi “Gusti” yang menyatu dengan “kawula” tanpa terjebak dalam hirarki organisasi modern.

Prinsip Etis: Kepemimpinan yang Menyatu, Bukan Menguasai

Filosofi ini mengajarkan bahwa pemimpin sejati tidak berdiri di atas rakyat, tapi menyatu dalam penderitaan, harapan, dan nilai-nilai mereka. Dalam istilah Jawa: “sepi ing pamrih, rame ing gawe”—tidak mencari pamrih pribadi, tapi sibuk bekerja demi kebaikan bersama.

Inspirasi untuk Era Modern

Bayangkan jika prinsip ini diterapkan dalam organisasi atau pemerintahan hari ini: pemimpin yang tidak hanya memimpin dengan otoritas, tapi juga dengan empati dan kesadaran spiritual. Bukan sekadar manager, tapi pangarsa—pemimpin yang hadir secara utuh, lahir dan batin.

Bagaimana nilai-nilai seperti sangkan paraning dumadi atau suluk dalam Serat Dewa Ruci bisa menjadi kerangka pengembangan diri dan kepemimpinan etis.

selanjutnya kita sedang menyusuri lorong-lorong batin Nusantara yang dalam dan penuh makna.

Sangkan Paraning Dumadi dalam Serat Dewa Ruci

Konsep sangkan paraning dumadi—asal dan tujuan keberadaan manusia—merupakan inti dari filsafat hidup Jawa yang sangat kental dalam Serat Dewa Ruci. Dalam kisah ini, tokoh Bima (Werkudara) melakukan perjalanan spiritual untuk mencari tirta pawitra, air suci kehidupan. Namun, yang ia temukan bukanlah air secara fisik, melainkan pencerahan batin melalui pertemuannya dengan Dewa Ruci—sosok kecil yang justru mewakili kebesaran sejati dalam diri manusia

Tiga Tahapan Spiritual: Takhalli, Tahalli, Tajalli

Serat ini menggambarkan proses spiritual yang mirip dengan tasawuf:

- Takhalli: Mengosongkan diri dari sifat buruk (Bima meninggalkan dunia lahiriah).

- Tahalli: Mengisi diri dengan sifat-sifat luhur (belajar dari Dewa Ruci).

- Tajalli: Penyatuan dengan Yang Illahi—puncak kesadaran bahwa Tuhan hadir dalam diri

Relevansi untuk Kepemimpinan Etis

Bagi seorang pemimpin seperti KGPAA Mangku Alam II, ajaran ini menjadi fondasi:

- Ia tidak hanya memimpin secara administratif, tapi juga menyucikan niat dan tindakan.

- Ia menyadari bahwa kekuasaan sejati bukan dominasi, tapi pengabdian.

- Seperti Bima, ia menempuh jalan sunyi untuk menemukan makna sejati kepemimpinan—bukan di luar, tapi di dalam diri.

Kalau ingin, kita bisa lanjut membahas bagaimana ajaran ini diterjemahkan dalam praktik—misalnya dalam pengambilan keputusan, manajemen konflik, atau pembentukan karakter pemimpin masa depan.

Mari kita gali bagaimana ajaran spiritual seperti sangkan paraning dumadi dan nilai-nilai etis Jawa bisa diterjemahkan ke dalam praktik kepemimpinan masa kini:

1. Pengambilan Keputusan: Dari Ego ke Kesadaran

Dalam tradisi Jawa, keputusan bukan sekadar hasil logika, tapi buah dari rasa—kesadaran batin yang jernih. Seorang pemimpin yang memahami sangkan paraning dumadi akan:

- Mendengarkan suara hati dan suara rakyat, bukan hanya data.

- Menghindari keputusan reaktif, dan memilih yang selaras dengan nilai luhur dan keseimbangan semesta (hamemayu hayuning bawana).

- Menimbang bukan hanya “apa yang benar,” tapi juga “apa yang bijak.”

2. Manajemen Konflik: Menyatukan, Bukan Mengalahkan

Konflik dalam pandangan Jawa bukan musuh, tapi tanda bahwa harmoni sedang diuji. Pemimpin etis akan:

- Menggunakan pendekatan ngemong (merawat), bukan nguwasani (menguasai).

- Mencari titik temu melalui dialog batin dan empati, bukan dominasi.

- Menjadikan konflik sebagai jalan menuju pemurnian niat dan struktur

3. Pembentukan Karakter Pemimpin Masa Depan:

Menurut kajian terbaru, pemimpin masa depan dituntut memiliki:

- Kecerdasan emosional dan spiritual, bukan hanya teknis.

- Kemampuan untuk menginspirasi, bukan sekadar menginstruksi.

- Keteguhan moral yang berpijak pada nilai-nilai seperti sepi ing pamrih, rame ing gawe.

pendekatan ini mampu membentuk pemimpin muda yang adaptif, visioner, dan kolaboratif

(diambil dari berbagai sumber)

Oleh :Agus Edhi Susanto

(Wakil Ketua DPD Matra Kabupaten Jember)