Feri Irawan: Pengusaha Batubara Harus Tanggung Jawab, Jangan Mengelola dengan Cara Barbar
Aksi demontrasi yang dilakukan ratusan sopir batubara di Kantor Gubernur Jambi, Senin (22/1/2024) ricuh. Orang-orang melempari Kantor Gubernur Jambi dengan batu. Kaca-kaca jendela pecah, lampu-lampu di taman rusak. Dua mobil kendaraan dinas ikut jadi sasaran pendemo.
BRITO.ID, BERITA JAMBI - Aksi demontrasi yang dilakukan ratusan sopir batubara di Kantor Gubernur Jambi, Senin (22/1/2024) ricuh. Orang-orang melempari Kantor Gubernur Jambi dengan batu. Kaca-kaca jendela pecah, lampu-lampu di taman rusak. Dua mobil kendaraan dinas ikut jadi sasaran pendemo.
Polisi berulang kali menembakkan gas air mata dan watercanon untuk membubarkan massa yang kadung emosi.
Para sopir yang tergabung dalam Komunitas Supir Batu Bara atau KS Bara itu menuntut Gubernur Jambi Al Haris membuka kembali hauling batubara setelah hampir satu bulan disetop, sejak 1 Januari 2024.
"Ini bukan masalah sepele, ini masalah perut," kata Tursiman, Ketua KS Bara.
Dia bilang, sebulan tidak bisa bekerja membuat ekonomi anggota KS Bara morat-marit. “Jadi saya tidak bisa melarang, kalau mereka emosi.”
Feri Irawan Direktur Perkumpulan Hijau, sebuah organisasi yang fokus pada isu lingkungan di Jambi menilai aksi demontrasi yang dilakukan ratusan sopir angkutan batubara di Kantor Gubernur Jambi, tidak lepas dari kebijakan Pemerintah Provinsi Jambi zaman Gubernur Hasan Basri Agus (HBA).
Diketahui gagasan jalan khusus batubara muncul zaman HBA. Mantan Bupati Sarolangun itu menargetkan pembangunan jalan batubara rampung dan mulai digunakan pada 2014. Akan tetapi rencana itu tidak juga terwujud meski sudah 3 kali ganti gubernur. "Jadi kalau mau dievaluasi harus dari hulu ke hilir," katanya.
Menurut Feri, keputusan Gubernur Jambi menghentikan aktivitas angkutan batubara lewat jalur darat, sebagai upaya untuk menekan perusahaan agar segera mempercepat pembangunan jalan khusus, yang sebelumnya ditargetkan rampung akhir 2023. Tetapi penghentian hauling batubara ditentang para sopir angkutan batubara, tapi di satu sisi banyak masyarakat yang mendukung.
Feri bilang, selama ini yang luput dari perhatian adalah banyaknya jumlah korban jiwa akibat kecelakaan yang melibatkan angkutan batubara. Dalam catatan Perkumpulan Hijau, selama hampir 9 tahun terakhir setidaknya lebih dari 120 orang meninggal. Angka sebenarnya diperkirakan jauh lebih besar. “Itu belum yang luka, atau cacat,” katanya.
Dia meminta para sopir juga harus mengerti situasi saat ini. Karena banyak masyarakat yang mendukung penghentian aktivitas angkutan batubara lewat jalur darat. “Kita harus berpikir, bagaimana keluarga korban itu sekarang.”
Kendati demikian pemerintah juga harus memiliki solusi untuk para sopir angkutan batubara yang selama ini menggantungkan hidup dari aktivitas transportasi batubara. Dalam catatan Pemprov Jambi, setidaknya ada 11 ribu lebih orang yang bekerja sebagai sopir tambang batubara. Dan pada 2022 tidak kurang dari 56 ribu orang di Jambi bekerja di sektor pertambangan.
Menurut Feri, jalur sungai yang saat ini digunakan untuk angkutan batubara adalah solusi sementara. Dia khawatir aktivitas angkutan batubara melalui jalur sungai berkepanjangan akan berdampak buruk terhadap ekosistem sungai.
“Belum lagi masyarakat kita masih banyak yang memanfaatkan sungai. Kalau sampai terjadi pencemaran dari angkutan batubara itu tidak hanya ekosistem sungai yang rusak, warga sepanjang aliran sungai juga terdampak," ujarnya.
Pemerintah, kata Feri, harus melakukan pengawasan total terhadap aktivitas angkutan batubara di sungai. “Jangan sampai ada batubara yang tumpah atau kejadian kemarin tongkang nabrak jembatan. Jadi ini harus diawasi. Kalau tidak ini hanya akan mengalihkan masalah dari darat ke sungai," katanya.
Mantan Direktur Walhi Jambi ini menuntut pihak pengusaha tambang batubara dan pemegang IUP bertanggungjawab. Sebab, tuntutan para sopir disebabkan ketidakmampuan para pengusaha tambang batubara membuat jalur khusus.
"Bukan hanya pemerintah yang tanggung jawab, perusahaan tambang juga harus ikut tanggung jawab. Kalau dia sudah membuka tambang, berarti sudah siap dengan risiko yang harus dihadapi.”
Perkumpulan Hijau mencatat ada 67 perusahaan tambang yang kini beroperasi produksi di Jambi. 18 berada di Kabupaten Sarolangun, 16 di Tebo, 13 di Batanghari, 12 di Bungo, 5 di Muaro Jambi dan 3 di wilayah Tanjung Jabung Barat.
Dia juga mendukung penuh Gubernur Jambi untuk menyelesaikan persoalan tambang batubara dari hulu sampai hilir. Termasuk kerusakan lingkungan akibat tanbang batubara.
Feri menyebut banyak lubang tambang yang ditinggal begitu saja tanpa direklamasi. Bahkan lubang bekas tambang batubara di Tebo telah menelan korban.
“Rakyat Jambi sekarang dikorbankan, sopir truk batubara, pengguna jalan, dan masyarakat yang rumahnya di pinggiran jalan yang menjadi jalur angkutan batubara, semua jadi korban.”
Pemerintah harus mengevaluasi semua izin tambang di Jambi, yang terbukti lalai harus dicabut.
“Semua ini karena pengusaha tambang mengelola tambang dengan cara barbar. Jangan Cuma ngeruk hasilnya saja, tapi dampak dan risikonya masyarakat yang disuruh nanggung," tegas Feri.
“Gubernur harus tegas, masyarakat Jambi harus jadi prioritas," pungkasnya. (*/)