PENDIDIKAN KITA MINUS KEKERASAN, UTOPIAKAH?

PENDIDIKAN KITA MINUS KEKERASAN, UTOPIAKAH?
Dr Hafid Zakaria SH MH dan Widodo, SH (dokpri)

DR. Hafid Zakaria, SH, MH*

Widodo, SH**

ANAK meruapakan aset masa depan dan penerus bagi bangsa Indonesia, mereka memiliki hak untuk mealangsungkan kehidupannya secara baik dan sejahteran, termasuk mendapatkan pendidikan yang layak, berkualitas serta menjamin masa depannya.

Pendidikan merupakan cara bagi kita semua menjadi alat untuk mempersiapkan masa depan anak-anak kita dalam mencapai kejayaan bangsa Indonesia, pendidikan baik pendidikan dasar, pendidikan menengah , pendidikan atas serta pendidikan tinggi adalah tempat menyiapkan sumberdaya manusia yang unggul.

Namun demikian hal menggelisahkan bagi kita semua akhir-akhir ini justru pendidikan kita mengalami kemunduran, utamanya menaiknya angka kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan. Kekerasan itu tidak hanya terjadi di sekolah yang berbasis umum dan agama namun juga terjadi di tingkat Perguruan Tinggi. 

Kasus kekerasan di lingkungan satuan pendidikan melonjak. Jumlahnya mencapai 573 kasus pada 2024 atau meningkat lebih dari 100 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Ironisnya, pelaku terbanyak adalah guru atau tenaga kependidik

Data ini dihimpun oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melalui pemberitaan di media massa dan kanal pengaduan JPPI. Ini menunjukkan tren yang makin mengkhawatirkan. Tahun 2020 ada 91 kasus, lalu 142 kasus (2021), 194 kasus (2022), 285 kasus (2023), dan kini 573 kasus pada 2024 (Kompas 28/12/2024)

Menurut data yang dirilis Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA), sejak Januari sampai dengan Februari 2024 jumlah kasus kekerasan terhadap anak telah mencapai 1.993. Jumlah tersebut dapat terus meningkat, terutama jika dibandingkan dengan kasus kekerasan yang terjadi pada tahun 2023. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), sepanjang tahun 2023 terdapat 3.547 aduan kasus kekerasan terhadap anak. Sementara menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dari Januari sampai Agustus 2023, terdapat 2.355 kasus pelanggaran terhadap pelindungan anak. Dari jumlah tersebut, 861 kasus terjadi di lingkup satuan pendidikan. Dengan perincian, anak sebagai korban dari kasus kekerasan seksual sebanyak 487 kasus, korban kekerasan fisik dan/atau psikis 236 kasus, korban bullying 87 kasus, korban pemenuhan fasilitas pendidikan 27 kasus, korban kebijakan 24 kasus. Sementara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (Kementerian PPPA) menyebutkan bahwa pada tahun 2023, telah terjadi 2.325 kasus kekerasan fisik terhadap anak. 

Angka kekerasan yang terjadi sebagaimana dalam data diatas sungguh sangat mengkhawatirkan, dan harus menjadi perhatian secara serius baik dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun di daerah.

Implementasi Kebijakan 

Untuk mencegah dan menangani kekerasan pada anak di lingkungan satuan pendidikan, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek) telah memberlakukan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Dilingkungan pendidikan tinggi pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2024 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Kedua peraturan itu memberikan petunjuk bagi pemangku kepentingan dalam memaahami tentang batasan-batasan tentang tindakan yang dikaregorikan sebagai kekerasan terhadap peserta didik baik yang dilakukan oleh Pendidik, Tenaga kependidikan maupun yang dilakukan oleh peserta didik atau mahasiswa.

Jika peraturan tersebut dikaji, setidaknya ada tiga ranah pencegahan dan penanganan yang perlu dilakukan, yakni pada ranah tata kelola, edukasi, dan sarana-prasarana. Pada tiga ranah tersebut, ada peran satuan pendidikan dan peran pemerintah daerah serta peran perguruan tinggi.

Pihak pemangku kepentingan perlu menelaah dan mensosialisasikan regulasi tersebut secara berkala, good will dari kepala sekolah, pimpinan perguruan tinggi akan pencegahan dan tentunya penindakan atas pelanggaran harus dilakukan secara terukur.

Kita menyakini jika komitmen bersama untuk mencegah kekerasan yang terjadi dilingkungan pendidikan bisa dikurangi dan bukan tidak mungkin dihilangkan, jika komitmen itu dilakukabn secara berkala dan terus menerus maka pendidikan nir kekerasan tidaklah utopis.

Satgas Anti Kekerasan 

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah seabaiknya membentuk satuan tugas Anti Kekerasan di pendidikan, satuan tugas ini melakukan pencegaahan secara terstuktur di satuan pendidakan. Pencegahan ini dilakukan dengan melibatkan seluruh pemanngku kepentingan. Satuan tugas ini juga melakukan perencanaan, pelaksanaan dan juga evaluasi serta memberikan penilaian terhadap pelaksanaan peraturan pencegahan kekerasan di dunia pendidikan. 

Pemerintah juga memberikan apresiasi berupa penghargaan terhadap sekolah yang menerapkan kebijakan nir kekerasan disekolah, pemberian penghargaan ini juga sekaligus menajadi promosi bagi gerakan pendidikan nir kekerasan. ()

*Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Batik Surakarta

** Anggota DPRD Sragen Fraksi PAN dan Mahasiswa S2 Hukum Uniba Surakarta