Setara Institute Sebut Aplikasi Pakem Kejaksaan Fasilitasi Kelompok Intoleran

Setara Institute Sebut Aplikasi Pakem Kejaksaan Fasilitasi Kelompok Intoleran

BRITO.ID, BERITA JAKARTA - Lembaga Setara Institute menilai aplikasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Smart Pakem) yang diluncurkan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, buruk bagi perlindungan hak warga negara dalam menjalankan keyakinannya.

"Menurut saya, aplikasi itu inisiatif yang buruk. Sebab aplikasi itu justru memfasilitasi kelompok intoleran untuk mengeksklusi aliran-aliran keagamaan yang ada di masyarakat, khususnya dari kalangan agama lokal dan gerakan keagamaan baru," ujar Direktur Riset Setara Institute Halili kepada wartawan di Jakarta, Kamis (29/11).

Halili mengatakan aplikasi tersebut juga akan semakin menciptakan pembelahan di tengah-tengah masyarakat serta menstimulasi pembelahan sosial keagamaan.

"Aplikasi tersebut juga akan semakin memperbesar ruang viktimisasi atas minoritas, baik oleh aparat negara maupun aktor-aktor nonnegara," jelasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Setara Institute Naipospos mengatakan tidak hanya sekedar aplikasi tersebut, namun juga kewenangan kejaksaan yang mengkoordinasikan badan yang disebut badan koordinasi pengawas aliran kepercayaan masyarakat (Bakorpakem) sudah saatnya dihapus.

Tigor mengatakan negara berkewajiban untuk melindungi hak setiap warganegara untuk bebas menjalankan keyakinannya. Negara, kata dia, tidak bisa menentukan dan mengintervensi mana agama atau kepercayaan yang sesat dan menyimpang.

PSI tolak "Sikap sejumlah LSM dan Partai Solidaritas Indonesia, saya pikir adalah sikap yang menghargai hak keyakinan setiap warga negara dan tidak menginginkan negara melakukan intervensi terlalu jauh dalam soal keyakinan dan tafsir keagamaan mana yang benar dan tidak benar. Posisi yang sebetulnya juga sama dengan apa yang telah lama disuarakan oleh Setara Institute," jelasnya. Sebelumnya aplikasi Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mengumumkan aplikasi Smart Pakem untuk pengawasan aliran kepercayaan. Aplikasi kni menuai penolakan dari Komnas HAM dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Komnas HAM dan YLBHI menilai penggunaan aplikasi ini berpotensi memicu konflik di masyarakat dan dapat berakibat persekusi terhadap kelompok tertentu sehingga harus dibatalkan.

Penolakan YLBHI didukung oleh Partai Solidaritas Indonesia. Jubir PSI Guntur Romli mengatakan persoalan aliran kepercayaan harus mengedepankan dialog bukan penghakiman. Guntur menyampaikan pengawasan aliran kepercayaan semacam itu pada gilirannya akan memicu persekusi. Guntur justru mendorong kejaksaan membuat aplikasi untuk memantau tindakan intoleransi dan praktik korupsi. (red)