Moeldoko Ungkap Tujuan Penerbitan SKB Radikalisme dan PP Terorisme

Moeldoko Ungkap Tujuan Penerbitan SKB Radikalisme dan PP Terorisme
Moeldoko. (Ist)

BRITO.ID, BERITA JAKARTA - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengungkapkan tujuan penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 Menteri terkait penanganan radikalisme pada ASN dan PP Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Petugas Pemasyarakatan.

"Sebenarnya lebih ke sebuah panduan bahwa pendekatan untuk deradikalisasi itu pendekatan yang komprehensif, tidak hanya pendekatan keamanan, pendekatan komprehensif itu bisa melalui pendidikan edukasi, perbaikan infrastruktur sosialnya, infrastruktur pendidikan, perbaikan dan lain-lain," kata Moeldoko di kantor KSP Jakarta, Selasa (26/11).

SKB tersebut diterbitkan pada 12 November 2019 bersamaan dengan peluncuran portal aduanasn.id.

Para menteri yang terlibat dalam SKB ini adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Agama Fachrul Razi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, dan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate.

Selain itu ada pula Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Suhardi Alius, Kepala Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana, Pelaksana tugas Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Hariyono, dan Ketua Komisi ASN Agus Pramusinto.

Salah satu poin yang ada dalam SKB ini adalah: menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.

"Intinya bahwa deradikalisasi itu jangan hanya didekati dengan pendekatan keamanan, tetapi jauh lebih penting menurut saya pendekatan-pendekatan kesejahteraan, pendekatan pendidikan, kesehatan dan seterusnya. Hal itu jauh melampaui dari yang kita pikirkan, seolah-olah itu deradikalisasi hanya pendekatan keamanan," ungkap Moeldoko.

Ada 10 jenis pelanggaran yang dimasukkan dalam SKB itu dan bisa dilaporkan antara lain adalah menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah; menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, dan antar-golongan; menyebarluaskan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian sebagaimana pada angka 1 dan 2 melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repostInstagram, dan sejenisnya);

Selanjutnya membuat pemberitaan yang menyesatkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan; menyebarluaskan pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial; mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah; mengikuti atau menghadiri kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah;

Masih ada menanggapi atau mendukung sebagai tanda setuju pendapat sebagai mana angka 1 dan 2 dengan memberikan likes, dislikes, love, retweet, atau comment di media sosial; menggunakan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah;
serta melakukan pelecehan terhadap simbol-simbol negara baik secara langsung maupun melalui media sosial.

Sedangkan PP No 77 tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan Perlindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Petugas Pemasyarakatan mengatur pencegahan melalui Kesiapsiagaan Nasional, dan Kontra Radikalisasi, dan Deradikalisasi.

Pertama, Kesiapsiagaan Nasional. Program ini dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat, peningkatan kemampuan aparatur, perlindungan dan peningkatan sarana prasarana, pengembangan kajian terorisme, dan pemetaan wilayah rawan paham radikal terorisme.

Kedua, Kontra Radikalisasi. Program ini dilaksanakan terhadap orang atau kelompok yang rentan terpapar paham radikal terorisme. Kontra Radikalisasi ini dilakukan melalui kontra narasi, kontra propaganda, atau kontra ideologi.

Ketiga, deradikalisasi. Program ini dilakukan terhadap tersangka, terdakwa, terpidana, dan narapidana tindak pidana terorisme, dan mantan narapidana terorisme, atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme.

Sumber Antara
Editor : Ari