Dekan Fakultas Hukum UMB: Penertiban Tambang Rakyat Harus Diiringi Solusi dan Penguatan WPR

Dekan Fakultas Hukum UMB: Penertiban Tambang Rakyat Harus Diiringi Solusi dan Penguatan WPR
Dr Nirmala Sari SH MH. (Dokpri)

BRITO.ID, BERITA BUNGO – Di tengah maraknya penertiban tambang emas tanpa izin (PETI) di Kabupaten Bungo, akademisi dari Universitas Muara Bungo angkat bicara. Dekan Fakultas Hukum UMB, Dr. Nirmala Sari, SH., MH., menilai bahwa penegakan hukum terhadap aktivitas tambang ilegal memang penting, namun harus disertai dengan pendekatan solusi dan pembinaan yang adil terhadap masyarakat penambang.

Menurutnya, penambangan emas rakyat melalui skema Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dapat menjadi peluang ekonomi yang sah dan produktif jika dikelola dengan baik, tanpa mengabaikan aspek lingkungan.

"Sebagai akademisi, saya memahami bahwa penambangan emas rakyat (WPR) bisa menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat lokal. Namun tentu harus diimbangi dengan pengelolaan lingkungan yang baik agar tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (16/7/2025).

Dr. Nirmala juga menanggapi upaya razia dan operasi penertiban yang dilakukan aparat. Ia menegaskan bahwa penegakan hukum tetap diperlukan untuk menjaga ketertiban dan mencegah kerusakan lingkungan, namun harus dilaksanakan secara proporsional, dengan mempertimbangkan bahwa sebagian masyarakat masih sangat bergantung pada tambang sebagai sumber pendapatan.

Ia mendorong agar Pemerintah Kabupaten Bungo bersinergi dengan Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam mengupayakan legalisasi kegiatan tambang rakyat melalui mekanisme WPR. Menurutnya, pengusulan kawasan WPR harus mempertimbangkan secara matang aspek teknis, lingkungan, dan sosial.

Lebih lanjut, Dr. Nirmala mengusulkan beberapa langkah strategis untuk mendorong pengelolaan tambang rakyat yang berkelanjutan dan ramah lingkungan:

1. Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan tambang.

2. Meningkatkan kapasitas masyarakat agar dapat melakukan kegiatan penambangan yang benar secara teknis dan hukum.

3. Memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap tambang-tambang yang melanggar aturan.

4. Mendorong penggunaan teknologi tambang yang ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem.

5. Menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam seluruh proses pengelolaan tambang, baik oleh pemerintah maupun pelaku usaha.

“WPR bisa menjadi jembatan antara hukum dan realitas ekonomi masyarakat. Tapi harus ada komitmen dari pemerintah dan masyarakat untuk mematuhi regulasi dan menjaga lingkungan. Jika tidak, maka konflik sosial dan kerusakan alam akan terus berulang,” tambahnya.

Pernyataan dari Dekan Fakultas Hukum ini menjadi catatan penting di tengah meningkatnya sorotan terhadap aktivitas PETI di wilayah seperti Sungai Buluh, Sungai Arang, dan sekitarnya. Pemerintah daerah pun diharapkan segera mengambil langkah terukur dan strategis untuk menata kembali aktivitas pertambangan rakyat agar legal, aman, dan berkelanjutan.

(Ari Widodo)