PHK Gara-gara COVID-19 Harusnya Disertai Pengawasan TKA
Pengamat sosial, Rully Chairul Anwar mengingatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) selama pandemi COVID-19 harus disertai pengawasan agar tenaga kerja asing (TKA) tidak masuk untuk mengisi kekosongan.
BRITO.ID, BERITA JAKARTA - Pengamat sosial, Rully Chairul Anwar mengingatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) selama pandemi COVID-19 harus disertai pengawasan agar tenaga kerja asing (TKA) tidak masuk untuk mengisi kekosongan.
Rully membenarkan langkah Pemprov DKI Jakarta untuk menghentikan sementara beberapa kegiatan usaha selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB), namun juga disertai dengan pengawasan setelah masa itu berakhir.
"Kalau menilik RUU Cipta Kerja yang digodok di DPR, ada pembatasan bagi tenaga kerja asing, hanya keahlian tertentu yang belum dimiliki di dalam negeri baru dapat masuk," kata Rully dalam siaran pers, di Jakarta, Selasa.
Rully mengakui dalam RUU itu masih ada polemik soal ketentuan Pasal 89 RUU Cipta Kerja yang mengubah atau menghapus beberapa ketentuan dalam UU/2003 tentang Ketenagakerjaan.
‘’Kalau kita cermati secara mendalam, kekhawatiran itu sebenarnya tidak perlu muncul. Karena aturan terkait TKA ke Indonesia tetap tidak berubah. Beberapa peraturan di bawah undang-undang yang mengatur soal mekanisme perizinan masuk bagi tenaga kerja asing tetap berlaku,’’ katanya aktivis Forum Kajian Informasi dan Literasi Sosial Budaya Universitas Padjadjaran itu.
Rully juga menjelaskan, dalam praktik industri atau lapangan kerja, kerap ditemukan kendala teknis yang hanya bisa ditangani oleh orang yang memiliki keahlian khusus. Sayangnya, tenaga dengan keahlian khusus itu bukan tenaga kerja Indonesia. Atau tenaga ahli dari Indonesia masih sangat terbatas jumlahnya.
Apabila mesin di pabrik mengalami masalah, untuk mendatangkan ahli yang memang paham bisa mencapai berbulan-bulan. Sementara produksi tidak boleh berhenti. Karena mesin mati, otomatis pabrik tidak bekerja. Itu adalah sebuah kerugian besar.
“Kalau regulasi itu tidak diubah, akan sulit mengharapkan investasi cepat masuk. Sebab belum apa-apa calon investor sudah dihadapkan pada birokrasi panjang untuk mendatangkan ahli dari negara luar yang paham teknis operasional mesin tertentu,” papar Ruly.
Rully menyatakan, kemudahan persyaratan dan mekanisme perizinan TKA hanya berlaku bagi sektor sektor dengan keahlian tertentu dan tidak untuk semua lahan pekerjaan.
“Peraturan dalam RUU Cipta Kerja tidak diperuntukkan bagi seluruh TKA melainkan untuk TKA dengan 'skill' (keahlian) khusus dan proses kedatangan mereka menjadi lebih mudah izin-izinnya,” tuturnya.
Generasi milenial
Bagaimana dengan industri rintisan yang digadang-gadang dapat memberikan peluang bagi generasi milenial untuk mendapatkan pekerjaan di masa depan?
Beberapa pihak khawatir RUU Cipta Kerja akan mengakhiri mimpi para milenial untuk mendapatkan pekerjaan mudah karena pasal 89 RUU itu mengecualikan perusahaan rintisan dari mekanisme perizinan TKA.
"Dengan aturan baru tersebut, perusahaan-perusahaan rintisan tidak akan diisi oleh generasi milenial Indonesia tetapi TKA dari Filipina, India, Thailand atau negara lainnya," katanya.
Menurut Rully, perusahaan rintisan masih dikecualikan karena SDM atau tenaga kerja Indonesia yang menguasai teknologinya secara spesifik belum cukup banyak. Atau ada beberapa posisi strategis yang hanya dapat diisi oleh orang dari negaranya karena menyangkut kerahasiaan.
Dalam hal itu, katanya, perlu ada kebijakan penyederhanaan birokrasi yang mempermudah para ekspatriat di bidang perusahaan rintisan untuk dapat bekerja.
“Di semua perusahaan pemberi kerja TKA, termasuk start-up, ada kewajiban bagi mereka menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping TKA. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 89 ayat 4 RUU Cipta Kerja,” kata Rully lagi.
Pemberi tenaga kerja asing juga wajib melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing. Sehingga dengan demikian pada saat tenaga kerja WNI dirasa sudah memahami teknologi dan keahlian spesifik yang diperlukan, maka TKA-TKA tersebut digantikan oleh TKI.
Dikatakan, RUU Cipta Kerja bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja sebanyak 2,7 sd 3 juta per tahun.
‘’Lapangan kerja itu tentunya disediakan untuk masyarakat Indonesia, bukan warga asing. Caranya adalah mempermudah regulasi bagi investasi asing untuk masuk ke Indonesia. Kalaupun ada TKA yang kerja di Indonesia karena RUU ini, itu hanya sebagian kecil saja dan untuk teknologi serta keahlian spesifik,” katanya.
Sumber: Antara
Editor: Ari