Prof Muladi Wafat, Harapan KUHP Nasional yang Belum Kunjung Disahkan

Begawan hukum Prof Muladi wafat pada usia 77 tahun di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Satu harapan yang belum terwujud yaitu KUHP Nasional yang diperjuangkannya selama 35 tahun dan tidak kunjung disahkan DPR.

Prof Muladi Wafat, Harapan KUHP Nasional yang Belum Kunjung Disahkan
Prof Muladi. (Ist)

BRITO.ID, BERITA JAKARTA - Begawan hukum Prof Muladi wafat pada usia 77 tahun di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Satu harapan yang belum terwujud yaitu KUHP Nasional yang diperjuangkannya selama 35 tahun dan tidak kunjung disahkan DPR.

Prof Muladi merupakan guru besar hukum pidana Universitas Diponegoro (Undip). Ia mulai mengajar pada tahun 1968. Pendidikan S2 diselesaikan di Prancis pada 1979 dan doktor hukum dari Unpad Bandung pada 1984.

Di kampusnya, ia menjadi Dekan FH dari 1986 hingga 1991. Muladi sempat juga menjadi anggota Komnas HAM, Menteri Kehakiman, Menteri Sekretaris Negara, dan hakim agung.

Dalam catatan, Kamis (31/12/2020), gagasan KUHP nasional mulai didengungkan sejak tahun 50-an. Sebab, KUHP yang berlaku saat ini adalah UU yang dibawa dari Belanda sejak era kolonial penjajahan Belanda.

Di era pemerintahan Jokowi, pembahasan RKUHP kembali digas. Namun di ujung periode DPR 2014-2019, demo menolak pengesahan RKUHP dilakukan di berbagai daerah.

Sebagai orang yang terlibat selama 35 tahun dalam pengkajian revisi KUHP, Prof Muladi mengaku sangat kecewa. Ketua Tim Perumus Revisi KUHP itu menilai mereka yang mempermasalahkan pasal-pasal tertentu dalam draf revisi tak membaca utuh versi mutakhirnya.

Muladi mengaku dirinya saat ini boleh jadi satu-satunya pemegang warisan dari para profesor yang terlibat dalam pengkajian revisi sejak awal, seperti Prof Soedarto, Prof Roeslan Saleh, Prof Moeljanto, Prof Oemar Seno Adjie. Tokoh-tokoh masa lalu itu yang meminta agar dia menyelesaikan revisi KUHP.

"Mereka semua sudah meninggal. Jadi memang saya all out mengerjakan ini. Seminggu tiga kali selama empat tahun terakhir ini kami berdebat dengan DPR untuk membahas revisi ini. Tapi akhirnya kok begini," kata Muladi kepada detikcom pada September 2019.

Ia berharap penundaan ini tidak berakhir dengan kegagalan. Sebab revisi ini lebih merupakan rekodifikasi yang sangat besar atas produk kolonial.

"Atau kita memang lebih suka menggunakan KUHP penjajah yang sudah seratusan tahun itu?" ujar Muladi masygul.

Bila itu yang terjadi, ia melanjutkan, para dosen seperti dirinya berarti akan terus mengajarkan produk hukum penjajah. Begitu juga dengan para penegak hukum menjalankan hukum penjajah yang korbannya sudah jutaan manusia.

Selain Prof Muladi, berbagai begawan hukum juga ikut menggawangi dan bertanggungjawab atas RUU KUHP. Seperti Prof Barda Nawawi, Prof Harkristuti Harkrisnowo, Prof JE Sahetapy, dan Prof Enny Nurbaningsih.

Setahun berlalu, hawa pengesahan KUHP Nasional mulai berhembus. Wakil Menteri Hukum dan HAM, Prof Edward Omar Sharif Hiariej kembali menyerukan pentingnya pengesahan RUU KUHP jadi KUHP Nasional.

Eddy, demikian ia biasa disapa, menekankan bahwa paradigma baru yang berkaitan dengan hukum pidana secara universal itu tidak lagi berorientasi pada keadilan retributif, tetapi pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.

"Dan ini akan terjawab ketika Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu disahkan menjadi KUHP," kata Eddy dalam refleksi akhir tahun 2020.

"Anda bisa bayangkan, koruptor, pemerkosa, pembunuh, pencuri, ini kok semua diserahkan kepada lapas untuk dibina? it doesn't makes sense," sambung Eddy.

Padahal, kapasitas lembaga pemasyarakatan di Indonesia terbatas yakni hanya bisa menampung sekitar 160.000 orang sedangkan narapidananya berjumlah sekitar 238.000 orang.

"Kapasitas yang kecil sementara masyarakat maunya menghukum seberat-beratnya, jadi ini tidak match. Karena itu bagaimana membenahi lapas itu bukan hal yang mudah. Kita berbicara sistem peradilan pidana secara keseluruhan," kata Eddy.

Sumber: detikcom
Editor: Ari