CAPPA: Festival PeSoNa 2018 Jambi Harus Mengaplikasikan Nawacita Jokowi

CAPPA: Festival PeSoNa 2018 Jambi Harus Mengaplikasikan Nawacita Jokowi

BRITO.ID, BERITA JAMBI - Akhir November, akan diselenggarakan Festival Perhutanan Sosial Nasional (PeSoNa) 2018 di Jambi. Event berskala nasional ini akan diisi beragam kegiatan.

Berlangsung 29 November hingga 1 Desember 2018, di Ratu Convention Center (RCC), Kota Jambi. Dengan konsep Pesta Rakyat, Festival PeSoNa 2018 mengangkat tema “Kita Kelola Kita Sejahtera”. 

Event ini hasil kerjasama Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Jerman dan KFW Development Bank dan Pemerintah Provinsi Jambi.

Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi, sebagai salah satu NGO yang aktif mendorong program Perhutanan Sosial (HutSos) cukup menyambut baik dengan penyelenggaran Festival PeSoNa 2018 di Jambi.

Ia berharap, Festival PeSoNa 2018 bukan hanya sekedar euphoria bahwa Jambi lebih baik dalam Perhutanan Sosial. Jangan sampai KLHK hanya mengedepankan target luasan sehingga yang didorong hanya izinnya agar cepat keluar.

Dengan adanya kegiatan workshop dan seminar di Festival PeSoNa nanti yang mempertemukan masyarakat pemegang izin Perhutanan Sosial dengan pengusaha, kalangan birokrat hingga perusahaan. Ada hasil atau output yang benar-benar bisa dimanfaatkan masyarakatan untuk peningkatan ekonomi mereka.

"Kalau hanya mempertemukan lebih baik tidak usah, harus ada yang mendorong pengembangan ekonomi masyarakat. KLHK dan teman-teman di Dishut harus lebih aktif, kegiatan ini harus benar-benar mengapilkasikan Nawacita Presiden Jokowi," katanya. 

Menurutnya, harus ada komitmen tertulis, dunia usahanya apa dalam mempertemukan masyarakat yang mengelola Perhutanan Sosial dengan pengusaha-pengusaha yang hadir di Festival PeSoNa.

"Harus jelas komitmennya apa. Jangan asal datang orang. Pengusaha yang tak punya komitmen untuk memajukan kemudian mengembangkan akan menjadi percuma," katanya.

Di Jambi, menurut Edi sedikit sekali produk-produk yang dihasilkan dari pengelolaan Perhutanan Sosial (HutSos). Ia mencontohkan salah satu dari yang sedikit itu yang berhasil adalah kelompok yang didampingi KPHP Sarolangun pimpinan Misriadi. Yaitu produksi madu dan minyak goreng dari buah kepayang.

"Madu itu rata-rata masyarakat pengelola Perhutanan Sosial punya, bedanya di kelompok KPHP Sarolangun packaging dan brandingnya bagus. Jika pun kenapa banyak yang melirik kelompok Misriadi, itu pun karena banyak yang donor. Diantaranya ada donor dari Bank Dunia, sehingga mereka dapat bantuan untuk penyulingan. Itu yang membuat mereka lebih maju," kata Edi.

Edi memberi masukan dalam Festival PeSoNa nanti hendaknya peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan Perhutanan Sosial merupakan salah satu penting untuk dibicarakan. Sehingga bermuara pada peningkatan ekonomi masyarakat.

"Kualitas produksi harus menjadi perhatian, karet misalnya jangan hanya yang dijual bahan bakunya saja yang segi empat itu. Harus juga ada produk-produk turunannya," katanya.

Ia mengatakan peran KLHK menjadi kunci dalam keberhasilan pengelolaan Perhutanan Sosial. Bukan hanya persoalan hasil produksi, tetapi bagaimana hutan juga tetap terjaga kelestariannya.

"Karena hutan bukan hanya soal pohon saja, tetapi juga ada soal kemanusiaannya. Ini harus terintegrasi, jadi perlu controlling. Sehingga masyarakat bisa lebih baik dalam menata kelola lahannya, lebih baik dalam menjaga lingkungannya," kata Edi.

Soal perkembangan Perhutanan Sosial di Jambi, Edi memaparkan target Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) ditargetkan 368 ribu hektare, yang jadi target Jambi dari luasan 12,7 juta yang menjadi target nasional. Walaupun kemudian targetnya telah dieliminir oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi 4,7 juta hektare.

"Di Jambi sendiri saya melihat ada beberapa problem. Proses Perhutanan Sosial (HutSos) sedikit melambat. Baik dari level birokrasi, karena saya melihat rumitnya proses-proses meskipun di Jambi sudah dibentuk Pokja Percepatan Perhutanan Sosial (PPS)," kata M Zuhdi, Direktur Yayasan Cappa Keadilan Ekologi.

Melalui Pokja PPS inilah diharapkan proses pengurusan izin Perhutanan Sosial bisa dipercepat. Dalam Pokja PPS sendiri terdapat multi pihak. Mulai dari pemerintah, NGO maupun perusahaan.

Zuhdi mengatakan dalam Pokja PPS ada dibuat empat divisi. Ada Divisi Pemberian Percepatan Izin, divisi inilah yang diharapkan mendorong percepatan izin Perhutanan Sosial. Kemudian Divisi Komunikasi yang mengurus terkait problem-problem yang terjadi di lapangan dalam proses pengusulan Perhutanan Sosial.

Lalu ada Divisi Penyelesaian Konflik. Divisi ini terkait mendorong penyelesaian konflik-konflik yang berhubungan dengan pengusulan Perhutanan Sosial.

"Kebetulan saya Koordinator Divisi Penyelesaian Konflik," kata Aktivisi Lingkungan yang akrab disapa Edi itu.

Kemudian, kata Edi, di pasca izin ada satu divisi, yang dinamakan Divisi Peningkatan Kapasitas dan Pengembangan Perekonomian. Divisi ini bertugas bagaimana masyarakat bukan hanya mengantongi legalitas Perhutanan Sosial. Tetapi, bagaimana masyarakat bisa mengelola Perhutanan Sosial dengan optimal dan bisa meningkatkan perekonomian dari lahan yang di SK-kan.

"Baik itu yang skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan maupun yang bermitra dengan perusahaan,” katanya.

Soal target izin Perhutanan Sosial di Jambi, pada 2018 ini ditargetkan luasan 251 ribu hektar yang menjadi target untuk mendapatkan izin.

"Ini dibagi-bagi. Ada 139 hektare didorong memang untuk Hutan Adat, Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan. Misalnya untuk di wilayah yang tidak berkonflik," katanya.

"Di 251 ribu hektare itu pun, misalnya 123 ribu tidak berkonflik. Kemudian ada 128 hektare berkonflik. Proses-prosenya berbeda. Jika di wilayah yang tidak konflik prosesnya lebih cepat dan mudah proses pengusulannya. Nah kalau di wilayah yang konflik itu biasanya menyelesaikan proses konfliknya dulu, baru didorong diusulkan menjadi Perhutanan Sosial," katanya lagi.

Edi pun memetakan daerah-daerah rawan konflik di Jambi dalam pengusulan Perhutanan Sosial. Ada di wilayah areal konsesi kemitraan sekitar 52 ribu hektare, di wilayah hutan produksi sekitar 17.900 hektare. Kemudiaan di wilayah kemitraan konservasi ada 58.270 hektare.

"Ini sebarannya di semua kabupaten. Terutama di wilayah-wilayah areal konsesi perusahaan," katanya.

Menyinggung soal progres Perhutanan Sosial di Jambi, menurut Edi perkembangannya cukup lumayan. CAPPA sendiri ada sekitar sekitar 15 ribu Perhutanan Sosial yang diusulkan. "7 ribu sekian sudah mendapatkan SK (izin),” katanya.

Ia mengatakan dari 7 ribu hektare Perhutanan Sosial yang telah memiliki legalitas dari pemerintah pusat itu. Rata-rata telah ditanami masyarakat dengan sawit. Baik itu Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan maupun yang bermitra dengan perusahaan.

Sementara di dalam Perhutanan Sosial, semestinya tidak boleh ditanami sawit. Artinya, ada paradigma yang harus dibangun untuk merubah stigma yang ada di masyarakat bahwa yang hanya menguntungkan itu hanya sawit.

"Kita perlahan-lahan mengenalkan tanaman-tanaman di luar sawit, misalnya kita mengembangkan tanaman agroforestry, ini misalnya tanaman campur berupa tanaman buah dan tanaman hutan. Tanaman hutan itu tak harus kayu alam, bisa ada karet, jengkol dan ada palawija nya juga kita padukan," katanya.

CAPPA juga mendorong bagaimana pengelolaan Perhutanan Sosial itu tidak hanya pangan saja, tapi juga bisa dikolaborasikan dengan budidaya ikan, seperti yang dilakukan masyarakat pendampingan CAPPA di sekitar wilayah PT REKI dengan memanfaatkan lahan Perhutanan Sosial ditanami tanaman agroforestry dikombinasikan dengan pembuatan kolam ikan.

"Misalnya masyarakat menanam kangkung, sisanya bisa untuk makanan ikan. Lalu ikan dikonsumsi untuk penambahan gizi masyarakat," kata Edi.

Kembali ke progres Perhutanan Sosial, sejak program ini digulirkan pada tahun 2017 di Jambi. Edi tak memungkiri jika masyarakat atau kelompok masyarakat yang mengantongi izin. Saat ini baru hanya sebatas euphoria. Mereka belum memiliki Rencana Kerja Usaha (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang matang.

"Namun saat ini kita tengah menyusun rencana jangka pendek dan jangka panjangnya,” katanya.

“Setelah RKU dan RKT tersusun, baru kita memikirkan bagaimana soal pengembangan ekonominya," kata Edi lagi.

Persoalan lain dalam pengelolaan Perhutanan Sosial, adalah pembiayaan. Edi mengatakan memang di KLHK ada yang namanya Badan Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat (BUPSHA) yang bisa diakses, hanya saja prosesnya tidak gampang.

Terhadap lahan Perhutanan Sosial yang memiliki legalitas, CAPPA sebagai pendamping masyarakat juga tengah memproses membangun tata ruangnya.

"Masyarakat memiliki kapasitas untuk mengelola tata ruang Perhutanan Sosial yang diSK-kan itu, disesuaikan dengan aturan yang ada," katanya.

Edi mengungkapkan jika Pokja sebenarnya harus mengadakan pertemuan satu bulan sekali untuk membahas percepatan Perhutanan Sosial, hanya saja pertemuan itu nyatanya tidak berjalan dengan rutin.

"Ada kewajiban yang dimandatkan ke Pokja untuk rutin melakukan pertemuan, permasalahannya selain karena kesibukan, tidak ada orang yang khusus untuk mengkoordinir pihak-pihak yang tergabung dalam Pokja itu untuk melakukan pertemuan. Memang sulit sekali, padahal proses ini harus dikawal,” katanya. (red)