Pengangguran di Kalangan Sarjana

Pengangguran di Kalangan Sarjana
Dr Noviardi Ferzi. (Dok)

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi *

BRITO.ID, BERITA JAMBI - Engkau Sarjana muda, susah mencari kerja, mengandalkan ijazahmu.... penggalan lirik lagu Sarjana Iwan Fals ini tergiang ketika saya membaca data BPS Mei 2025 ini.

Selaku pendidik saya memandang, Pengangguran di kalangan lulusan sarjana merupakan salah satu tantangan penting yang dihadapi masyarakat Indonesia. Meskipun telah menyelesaikan pendidikan tinggi dengan harapan mendapatkan pekerjaan, kenyataannya banyak lulusan sarjana yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli 2024 lalu misalnya, telah terjadi peningkatan signifikan dalam angka kemiskinan di antara lulusan sarjana, dengan tingkat kemiskinan terbuka di Indonesia mencapai 5,18%, naik dari 4,8% pada tahun 2023.

Ironisnya, pada tahun 2025 ini, ketika kemiskinan lulusan SMA turun 6,35 persen dibandingkan Februari 2024 yang mencapai 7,05 persen. Lulusan perguruan tinggi (D4, S1, S2, S3), justru meningkat menjadi 6,23 persen, persentase ini meningkat dibandingkan Februari 2024 yang hanya sebesar 5,25 persen.

Peningkatan ini merupakan sebuah anomali yang menunjukkan bahwa meskipun pendidikan tinggi diharapkan dapat meningkatkan peluang kerja, kenyataannya masih banyak lulusan yang kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka.

Penyebab utama tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia: kegagalan perguruan tinggi dalam mewujudkan keterkaitan (link and match) antara pendidikan tinggi dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.

Sejujurnya, pasar kerja saat ini masih diisi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan rendah, seperti lulusan SD dan SMP, sementara lulusan sarjana justru lebih banyak pengangguran.

Beberapa perguruan tinggi telah berusaha untuk mengatasi masalah ini dengan berbagai cara, seperti merekrut pengajar dari kalangan praktisi, memperkenalkan program vokasi, hingga menyediakan kesempatan magang bagi para mahasiswa. Namun, tantangan ini belum sepenuhnya teratasi, karena banyak lulusan yang masih mengalami kesulitan untuk bersaing di pasar kerja.

Studi yang dirilis oleh McKinsey, UNESCO, dan ILO pada tahun 2008, bahwa terdapat jurang yang cukup signifikan antara pendidikan tinggi dan kebutuhan dunia kerja di Indonesia. Studi tersebut menemukan bahwa lulusan perguruan tinggi di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi harapan atau kebutuhan pasar tenaga kerja saat ini.

Salah satu indikatornya adalah tingginya tingkat kemiskinan di kalangan pemuda berpendidikan tinggi. Ini menjadi salah satu alasan mengapa banyak lulusan sarjana masih kesulitan menemukan pekerjaan yang sesuai.

Beberapa penyebab tingginya angka kemiskinan di kalangan sarjana antara lain, terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia. Selain itu masalah ketidaksesuaian antara keterampilan lulusan dan kebutuhan pekerjaan. Termasuk masalah memulai untuk memulai usaha sendiri.

Masalah kemiskinan di kalangan lulusan sarjana juga diperparah oleh perubahan struktural dalam ketenagakerjaan. Tidak hanya faktor demografi, tetapi juga adanya peningkatan efisiensi dalam penggunaan tenaga kerja berkat kemajuan teknologi, serta fragmentasi pasar tenaga kerja secara global.

Selain itu, pasar kerja global yang terus berkembang dengan munculnya berbagai jenis pekerjaan baru akibat inovasi sains dan teknologi serta perkembangan kecerdasan buatan (AI), serta peningkatan kreativitas, semakin menambah tantangan bagi lulusan untuk dapat beradaptasi dengan cepat. Semua faktor ini menjelaskan mengapa banyak sarjana Indonesia yang menganggur dan sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai.

Era globalisasi yang diakui telah membuat mobilitas tenaga kerja antarnegara, membuat persaingan semakin ketat. Tenaga kerja asing yang lebih siap dan berkualitas dengan mudah dapat memasuki pasar kerja di Indonesia, memenuhi posisi yang membutuhkan keahlian tinggi.

Hal ini menambah tekanan bagi lulusan lokal, yang sering kali kalah bersaing baik dari segi kompetensi, profesionalisme, maupun kualitas. Tantangan ini adalah bagian dari dinamika pasar tenaga kerja di era global, di mana kebutuhan tenaga kerja cenderung disesuaikan dengan standar internasional.

Di sisi lain, dari perspektif penawaran, kualitas lulusan perguruan tinggi di Indonesia masih jauh dari memadai. Hal ini menjadi salah satu faktor utama mengapa banyak sarjana kesulitan dalam bersaing di pasar kerja.

Meskipun telah banyak inisiatif dari pemerintah dan sektor swasta untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendirian perguruan tinggi, pengembangan perguruan tinggi baru sering kali tidak diimbangi dengan kualitas pendidikan yang mampu.

Banyak perguruan tinggi baru yang hanya berorientasi pada keuntungan, yang menghasilkan lulusan dengan kualitas rendah dan kurang kompetitif di pasar kerja. Akibatnya, meskipun jumlah lulusan perguruan tinggi terus meningkat, kualitas mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar global yang terus berubah.

Tentu ada banyak usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini, yang tetap dimulai dari Peningkatan Kualitas Pendidikan, Institusi pendidikan tinggi perlu berkolaborasi dengan industri untuk memastikan kurikulum yang diajarkan relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Pelatihan keterampilan praktis dan soft skill juga harus menjadi fokus utama.

Lalu penambahan Program Magang dan Kerjasama dengan Industri, mendorong mahasiswa untuk mengikuti program magang selama masa studi dapat memberikan pengalaman kerja yang berharga. Kerjasama antara universitas dan perusahaan dapat membuka peluang bagi lulusan untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus.

Tetmasuk mengintegrasikan kewirausahaan dalam kurikulum dapat mendorong lulusan untuk menciptakan lapangan kerja mereka sendiri. Program inkubasi bisnis di kampus juga dapat membantu mahasiswa mengembangkan ide bisnis mereka.

Sedangkan dari pihak pemerintah dapat berperan aktif dalam menciptakan kebijakan yang mendukung penciptaan lapangan kerja, seperti insentif bagi perusahaan yang mempekerjakan karyawan baru atau program pelatihan kerja yang disubsidi.

Dengan langkah-langkah mitigasi yang tepat, diharapkan tingkat kemiskinan di kalangan lulusan perguruan tinggi dapat ditekan, dan mereka dapat berkontribusi secara maksimal dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Jika tidak, lagu sarjana muda Iwan Fals tadi seolah menjadi ramalan yang nyata bagi para sarjana Indonesia. (*)

* Pengamat Ekonomi dan Politik